“Di titik paling rendah kita, Tuhan menunjukkan KebesaranNya”

(lupa ini quotes siapa)

 

Pertama, aku mau bilang dulu bahwa catatan ini dibuat tanpa maksud pamer, sombong, dan sejenisnya. Aku menulis karena pada hari ketika semangatku berada pada titik terendah, saat-saat ketika semua berjalan tak sesuai rencana dan target mulai terasa berat untuk terlaksana, aku berdoa yang kurang lebih isinya, “Ya Allah, jika pada hari ini kau sudi menunjukkan keajaiban pada kami, ini akan jadi kisah yang luar biasa untuk dikenang. Maka, aku berjanji untuk mengabadikannya dengan pena dan biarlah ia menjadi pengingat agar kami tak lupa untuk memuji kebesaran-Mu.”

 

Bagiku, hari itu Ia telah menunjukkan keajaiban. Dan karenanya lah aku menulis catatan ini.

 

 

Pameungpeuk, Jumat, 31 Mei 2013

 

Satu per satu sosok-sosok manusia mulai berjalan meninggalkan masjid setelah Sholat Jum’at usai. Masing-masing kembali ke dunia dan kesibukannya sendiri. Beberapa kembali ke pantai, menyajikan makanan di restoran atau mengurus kamar-kamar penginapan. Sebagian mengendarai motor dan berpencar ke segala arah, melewati jalanan becek menuju rumah. Sebagian besar berjalan ke arah kompleks luas yang memanjang di pesisir Pantai Santolo, tempat Gedung Produksi dan Pengujian Roket Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) berada. Dan tujuh orang di antaranya adalah kami: aku, Syauqy, Hanry, Yuli, Harist, Ivan, dan Luqman.

 

Kami bertujuh mewakili almameter kami, UGM, di Kompetisi Muatan dan Roket Indonesia (KOMURINDO) 2013 pada divisi Muatan Roket. Selain kami pun ada belasan mahasiswa UGM lainnya yang juga berlaga pada kompetisi ini pada divisi yang lain. Hari itu adalah hari pertama perlombaan dan kami semua sangat antusias untuk berlomba setelah sebelumnya bekerja keras berbulan-bulan bersama-sama.

 

Tak seperti kawan lainnya yang langsung menuju Ruang Makan dengan kupon makan di tangan masing-masing, kami memilih untuk berjalan terus ke Ruang Perlombaan. Bukan apa-apa, tim kami dijadwalkan menjalankan Uji Fungsional (UF) tepat setelah istirahat makan siang dan kami sangat bersemangat untuk segera menjalaninya. Sebelumnya, sudah ada beberapa tim yang menjalani UF dan sejujurnya, optimisme kami membuncah saat itu, karena dari pengamatan kami, tak satu pun Muatan Roket tim lain yang sudah berlaga memiliki performa sebaik Muatan Roket tim kami.

 

Pada divisi ini, kami diharuskan membuat Muatan Roket dengan spesifikasi ukuran dan berat tertentu yang diharuskan bisa mengirimkan data pergerakan roket danmengambil citra udara untuk dikirimkan lewat gelombang radio ke komputer pengendali. Selain itu, peserta juga diperbolehkan (opsional) memberikan komponen tambahan agar muatan bisa kembali ke tempat peluncuran atau yang dikenal sebagai homing. Tetapi, sebelum Muatan kami boleh diluncurkan, Muatan kami harus melalui Uji Funsgionalterlebih dahulu untuk dinilai apakah layak untuk diluncurkan. Jika terbukti mampu menjalankan tugas-tugas pada UF dengan baik, baru keesokan harinya muatan kami diluncurkan.

 

 

“Saat Uji Peluncuran, banyak sekali faktor di luar kekuasaan kita, karena itu, kalau mau juara, kita harus maksimalkan Uji Fungsional,” berkali-kali aku katakan pada keenam rekanku yang lain. “Kalau Uji Fungsional kita perfect, kemenangan sudah hampir pasti ada di tangan.”

 

Karena itu lah, setelah mengamati dengan baik UF tim lain sebelum giliran kami, kami menjadi sangat percaya diri. Maklum, performa tim-tim yang meraih juara pada tahun sebelumnya masih di bawah tim kami. Tampilan Ground Control Station (GCS) kami lebihuser-interface, dilengkapi dengan gambar 3D gerakan roket, dan kecepatan transfer citra udara kami saat latihan adalah 26 detik, jauh lebih cepat dibandingkan dengan peserta lainnya dengan kualitas gambar yang tak kalah baik. Semuanya terlihat akan berjalan mudah.

 

Dan giliran kami pun tiba. Sesuai rencana kami, tiga orang yang maju mewakili tim kami adalah Syauqy, Hanry, dan Luqman sedangkan sisanya menonton dari kursi penonton.

 

Awalnya, semuanya berjalan mulus. Pada pengujian gerakan roket, semuanya berhasil kami lewati dengan baik meskipun sempat terjadi sedikit lagging pada gambar 3D kami. Kemudian, saat pengujian citra udara, sesuatu yang tak terduga terjadi. Setelah baris-baris awal citra udara kami terkirim dengan baik, citra udara kami mulai tergeser dan saling tumpang tindih. Hal yang sama sempat terjadi beberapa kali hingga akhirnya citra udara yang terambil tidak sesuai dengan yang seharusnya, jauh berbeda dengan apa yang kita alami selama latihan. Pada akhirnya, karena secara keseluruhan performa muatan roket kami layak, muatan roket kami dinyatakan lolos UF meski tentu saja dengan nilai yang tak maksimal akibat masalah pada bagian pengambilan citra udara.

 

Berdasarkan peraturan, peserta diperbolehkan melakukan Retry jika mengalami masalah dan pengujian akan diulang meski bobot nilainya harus dikali 0,9. Karena ingin mendapatkan nilai UF setinggi-tingginya dan hasil-hasil memuaskan selama latihan, aku pun segera beranjak dan berjalan ke arah juri dan panitia, meminta kesempatan Retry. Agak sedikit tergesa-gesa memang, tapi melihat performa muatan kami saat latihan, tak sepantasnya kami gagal di sini. Saat itu Hanry berusaha menenangkanku dan berkata, “Jangan diputusin sendiri! Kita ini tim! Coba diskusi dulu sama yang lain!”

 

Maka, kami pun kembali berkumpul bertujuh, mendiskusikan apakah kami akan mengambil peluang Retry untuk mencoba lagi performa pengambilan citra dengan resiko nilai harus dikali 0,9 atau merelakan kegagalan pengambilan citra kami di UF dan fokus pada persiapan peluncuran. Diskusi sempat memanas karena masing-masing pihak punya argumen yang kuat. Aku sendiri awalnya tetap pada pendirianku untuk Retry. Meskipun bobot nilai untuk tugas Uji Peluncuran (UP) lebih besar daripada nilai UF, terlalu banyak faktor X pada UP karena saat muatan kami benar-benar diluncurkan bersama roket, muatan itu sudah benar-benar berada di luar kendali kami.

 

Tapi, rekan-rekan yang lain lebih condong kepada tidak mengambil Retry dengan alasan jika pada Retry ada masalah lagi pada muatan kami, nilai kami akan semakin menurun. Hingga saat-saat terakhir aku masih ragu sampai Hanry berkata penuh keyakinan,

Aku milih gak retry, karena aku percaya algoritma homing-mu pas peluncuran, Ka. Aku yakin, muatan kita bakal balik ke tempat peluncuran.”

 

Jujur, saat itu, aku sendiri tidak yakin dengan kata-katanya. Seperti yang sudah kukatakan, terlalu banyak faktor X pada Uji Peluncuran. Nyatanya, sejak tugas homing pertama kali dilombakan tahun 2011 hingga sekarang, tak ada yang pernah berhasil kembali ke tempat peluncuran. Terlebih lagi, algoritma homing-ku bisa dibilang belum teruji karena memang baru berhasil di simulasi computer. Tapi, saat itu, nuraniku mengalahkan logikaku. Keputusan telah diambil dan kami memilih untuk tak mengambil opsi Retry.

 

 

Pameungpeuk, 1 Juni 2013

 

Sepanjang malam sebelumnya, benakku berkecamuk. Kegagalan di Uji Fungsional masih terbayang jelas. Usai pengujian, berdasarkan pengamatanku, ada sekitar 6 tim lain yang berhasil menjalankan seluruh tugas pada Uji Fungsional dengan baik. Jika pengumuman diadakan hari itu, jelas, tim kami tak akan masuk dalam jajaran juara. Benarkah keputusan yang kami ambil ini?

 

Begitu juga saat menunggu giliran tim kami untuk meluncur, benakku masih penuh kekhawatiran. Jika biasanya aku sering bercanda, hari itu bahkan aku hampir tak pernah tersenyum. Satu per satu roket beserta muatannya diterbangkan, masih saja aku diliputi kecemasan. Tak ada yang tahu bagaimana hasil tim lain karena memang tak semuanya diperbolehkan ke area peluncuran. Tetapi, jelas, tak ada satupun yang berhasil homing. Bukan hanya diriku saja yang cemas. Syauqy lebih banyak bungkam dan tak ada yang tak melihat kekhawatiran di wajah Hanry dan Luqman. Akankah usaha kami selama ini sia-sia?

 

Hingga akhirnya, giliran kami pun tiba.

 

Saat itu, hanya ada aku, Hanry, Syauqy, dan Luqman di antara ketujuh anggota tim divisi muatan roket. Dan seperti sebelumnya, tiga rekanku yang lain lah yang akan maju ke area peluncuran. Sebelum mereka berangkat, aku memimpin doa, memohon kelancaran dan “keajaiban”. Untuk menjadi juara, jelas, kami harus memangkas keunggulan tim lainnya dan jika diasumsikan tim lain berhasil mengambil data gerakan roket dan citra udara dengan baik, satu-satunya peluang yang mungkin adalah muatan kami harus berhasil menjalankan fungsi homing, tugas yang tak berhasil dilaksanakan oleh tim lainnya.

 

“Ka, kalau homing, aku janji nganterin kamu pulang-pergi kuliah seminggu, deh!”kata Hanry setengah bercanda sebelum berangkat. Aku cuma bisa tersenyum ragu.

 

Saat mereka bertiga menaiki mobil yang akan mengantar mereka ke area peluncuran, aku hanya terdiam dan memejamkan mata. Saat itu lah aku berdoa, “Ya Allah, jika pada hari ini kau sudi menunjukkan keajaiban pada kami, ini akan jadi kisah yang luar biasa untuk dikenang. Maka, aku berjanji untuk mengabadikannya dengan pena dan biarlah ia menjadi pengingat agar kami tak lupa untuk memuji kebesaran-Mu.”

 

“Ka, kok Luqman lari-lari balik lagi?” kata Irfan, rekanku dari divisi lain sembari menunjuk ke kejauhan.

 

Dan benar saja, bukannya bersiap-siap di area peluncuran, Luqman justru berlari kembali ke arah kami dengan wajah penuh kepanikan. Aku pun berlari ke arahnya, bertanya apa yang terjadi.

 

“Suratnya, mas… Surat perintah peluncuran roketnya ketinggalan di kamar hotel…”

 

Surat perintah itu kami terima usai dinyatakan lolos UF dan semestinya dibawa sebelum peluncuran sebagai syarat meluncur. Tetapi, kegagalan di UF sebelumnya begitu mengejutkan kami sehingga tak ada yang ingat sama sekali tentang surat itu. Jarak dari penginapan ke tempat peluncuran sekitar 2-3 kilometer, jelas akan butuh waktu lama untuk mengambilnya dengan berjalan kaki sedangkan kami tak punya kendaraan apa pun.

 

“Ya udah, ayo coba minta tolong panitia!”

 

Singkat cerita, usai menjelaskan situasinya ke panitia, aku dan Luqman diangkut mobil pengantar makanan panitia menuju ke penginapan. Selama di mobil, Luqman terus-menerus menyesali diri karena lupa membawa surat itu. Aku mencoba menghiburnya dan memintanya tetap tenang meski benakku sendiri diliputi kecemasan.

“Mungkin memang bukan tahun kita,” pikirku saat itu. “Mungkin tim lainnya bekerja lebih keras dan layak mendapat hasil lebih baik.”

 

Akhirnya, setelah menit-menit yang menegangkan, kami kembali ke area perlombaan berbekal surat perintah peluncuran. Luqman pun berlari kembali ke area peluncuran sedangkan aku kembali berdiri di area penonton, bersama rekan-rekan yang lainnya.

 

“Gimana?” tanyaku.

 

“Sudah satu roket diluncurkan, tapi sepertinya itu bukan punyamu,” kata Mas Farid, salah satu dosen muda yang mendampingi kami. “Sepertinya punyamu di-skip dulu, nunggu surat. Tapi, yang barusan ini mendaratnya deket banget dengan tempat peluncuran.”

 

Aku semakin khawatir. Kalau itu benar, tim yang baru saja diterbangkan akan mendapat nilai untuk tugas homing yang cukup tinggi. Kalau tugas-tugas lainnya pun mereka bisa, peluang kami untuk juara semakin menipis. Aku hanya bisa menghela nafas dan mulai merelakan diri untuk kalah.

 

Tapi kemudian, di kejauhan, terlihat 2 sosok berlari-lari di area peluncuran. Sekilas, mereka terlihat berlari ke arah area penonton, tapi lalu berbelok dan masuk ke ladang jagung di sebelah area peluncuran. Sepintas, jaket yang mereka gunakan sangat mirip jaket tim kami dan dari perawakannya pun sangat mirip dengan Hanry dan Luqman. Apa yang mereka lakukan? Bukankah mereka seharusnya bersiap-siap di area peluncuran?

 

Tak lama, dua sosok itu keluar dari ladang jagung, membawa serta barang kecil yang terhubung ke parasut lebar warna merah: parasut tim kami. Aku pun terbelalak tak percaya. Jadi, muatan kami tidak di-skip, tapi sudah diluncurkan meski tanpa surat perintah peluncuran! Lalu, untuk apa Luqman dan aku kembali mengambil surat itu? Artinya, muatan yang mendarat dekat dengan tempat peluncuran tadi….

 

Tak lama, mobil panitia mulai meluncur dari area peluncuran, membawa peserta yang muatannya sudah diluncurkan kembali ke area penonton. Tak sabar untuk mendengar hasilnya, aku berlari ke arah tempat parkir mobil itu. Begitu juga dengan rekan-rekanku yang lain. Semua ingin mendengar bagaimana hasil Uji Peluncuran muatan kami.

 

Syauqy lah yang pertama kali keluar dari mobil. Wajahnya tak tersenyum tapi juga tak cemberut. Ia hanya berlari ke arahku, nyaris tak bisa berkata apa-apa selain seruan-seruan tidak jelas. Ia dorong-dorong tubuhku, membuatku semakin tak mengerti. Kemudian, Hanry dan Luqman menyusul keluar dari mobil. Hanry yang lebih tenang langsung berteriak sambil tersenyum,

 

“Ka, siap-siap! Kamu bakal ku anterin pulang-pergi kampus semingguan ini!”

 

Aku tidak paham kata-katanya, hampir lupa sama sekali dengan janji yang diucapkannya sebelum peluncuran. Luqman sama tidak mengertinya denganku: ia datang ke area peluncuran saat roketnya sudah dilucurkan. Kemudian, Hanry pun menjelaskan semuanya.

 

Selama 12 detik pertama peluncuran, muatan kami mengirimkan data gerakan roket dengan sangat baik. Tetapi, saat roket dan muatan belum separasi (terpisah), juri sudah meminta kami mengambil citra udara. Akibatnya, citra udara yang terekam tidak jelas karena muatan masih berada di dalam roket saat citra udara diambil. Sampai di situ, bisa dibilang hasil peluncuran kami mengecewakan. Tapi, yang terjadi sesudahnya adalah keajaiban.

 

Usai mengirim citra udara, muatan kami pun menjalankan fungsi homing atau kembali ke tempat peluncuran berbekal magnetometer sebagai penunjuk arah dan GPS sebagai penunjuk posisi serta dua motor servo sebagai pengendali arah parasut. Data dari dua sensor itulah yang dikirim dan ditampilkan di software buatan Syauqy. Dan seperti gambar di bawah inilah hasilnya.

Data mulai terkirim saat muatan kami masih berada sekitar 600 meter di atas laut, usai terlepas dari roket. Sensor-sensor mulai bekerja. Motor bereaksi mengarahkan parasut. Dan sembari bergerak mengikuti angin, gerakan parasut membuat muatan kami berbelok ke kiri, menuju ke lokasi peluncuran sebelum akhirnya mendarat di ladang jagung, hanya sekitar 20 meter dari garis batas area peluncuran, paling dekat dengan area peluncuran dibandingkan tim lainnya. Muatan kami mendarat utuhtanpa rusak sedikit pun, dan selalu mampu mengirim data dari awal peluncuran hingga pendaratan tanpaloss connection sama sekali.

 

Juri memuji performa muatan kami. Memang, tidak ada jaminan kami akan juara. Tugashoming ini hanya opsi tambahan. Nilainya mungkin tak seberapa. Dan kegagalan kami di Uji Fungsional mungkin telah membuat kami tertinggal sangat jauh dibandingkan tim lainnya. Tapi, hari itu aku sadar bahwa aku telah mendapat sesuatu yang lebih berharga daripada gelar juara. Seperti yang dikatakan Syauqy sambil berurai air mata haru saat itu:

 

“Apa pun hasilnya, gue bangga sama kerja keras kita!”

 

Dan kami pun hanya bisa bersujud dan menangis.

“Surely We have given to you a clear victory”

“Then which of the favors of your lord will ye deny?”

 

credit to: Ahmad Ataka Awwalur Rizqi